Langsung ke konten utama

Best Rival



Identitas Buku
Judul Buku : Best Rival
Pengarang : Naima Knisa
Penerbit : Gagas Media
Tahun Terbit : 2014
Tebal : viii + 244 halaman
Ukuran : 13 x 19 cm
Harga : gatau, dapet hadiah kuis sih. Hehe

Ini adalah kisah tentang teman jadi lawan.
Bisa jadi, kamu juga mengalaminya.Atas semua yang kamu miliki, ia tidak bahagia. Atas semua yang kamu lakukan, ia tidak peduli.
Padahal, dulu, kalian pernah berjanji untuk berjalan bersisian, menuju impian yang sama.
Ya, Estu, ini kisah kau dan aku. Aku yang bukan “siapa-siapa” menjadi titik lemahku bagimu. Begitukah?
Maaf, aku tidak selemah itu. Aku belajar banyak dari kecuranganmu selama ini. Belajar untuk bisa lebih baik daripada dirimu.
Tenang saja, waktu akan menjawab “siapa aku, siapa kamu”. Juga tentang siapa teman, siapa lawan. 

      Dari sinopsis cover belakang yang aku tulis ulang itu, udah kerasa gimana suasana novel ini? Yup. Novel ini dipenuhi konflik antara sepasang sahabat. Tokoh utamanya Kuncoro Respati Wijaya, seorang chef di restoran Omah Jawa, Solo. Laki-laki tinggi, keren, ganteng, (hanya) anak dari seorang abdi dalem namun sukses. Tapi amit-amit banget sama sifat dendam, iri, dengki, sama serakahnya. Musuhnya (yang dulu sahabatnya), Raden Mas Tumenggung Pengestu Bumi (Estu) juga seorang chef spesialis masakan tradisional Jawa seperti dirinya. Namun terlahir dalam keluarga ningrat, lebih beruntung karena mendapatkan beasiswa sekolah di Paris, menerbitkan sebuah buku masakan sekaligus biografi, dan mengelola restoran yang menjadikan masakan Solo menu utamanya, serta menggeser pamor restoran Omah Jawa, tentunya.

      Nah, si Kuncoro ini ga terima ketika Estu seakan-akan mengambil semua impiannya. Kuncoro menghalalkan segala cara buat ngalahin Estu. Mulai dari memperalat kekasihnya sendiri, Gendis. Menyebar fitnah, meminta ‘restu’ pada leluhur, hingga menyerang Estu secara langsung dan mengakibaktkan kematian ayah Kuncoro. 

      Lantas, kenapa novel ini malah mengangkat antagonis sebagai tokoh utamanya? Ini karena novel Best Rival adalah satu dari 7 novel pemenang ‘sayembara’ 7 deadly sins. Dalam kompetisi ini, penulis ditantang untuk menggunakan karakter yang tidak sempurna dan memilih kekurangan tokoh utama dari 7 dosa mematikan (amarah, nafsu, kerakusan, keserakahan, kemalasan, iri hati, dan kesombongan). Jadi, siap-siap aja deh sebel sama kelakuan tokoh utama dalam novel ini.

      Best Rival mengangkat setting di daerah Keraton Solo dan sekitarnya. Memberi banyak ilmu baru tentang kebudayaan Jawa Tengah. Dari novel ini pembaca jadi tahu apa itu abdi dalem, kori, samir, siapa itu Nyai Gandarasa, apa itu Adang Agung Taun Dal, Grebeg Mulud, dsb. Selain itu, novel ini pun sukses membuat pembaca (saya) lapar karena penjelasannya tentang salah satu masakan tradisional Solo, yaitu tengkleng. *hapus iler*

      Jalan cerita novel ini maju. Orientasi, konflik, sama penyelesaian bisa dibilang seimbang. Sayang, menurutku novel ini terlalu gampang ditebak. Dan beberapa konflik yang ada sebenernya udah mainstream. Untung sih settingnya menarik, jadi cukup nolong novel ini dari predikat boring. Hehe . Oiya satu twist di epilog sukses bikin emosi pembaca campur aduk. Good job, penulis. *thumbs 

      Pelajaran yang paling menonjol dalam novel ini adalah keikhlasan. Ilmu yang paling susah, menurutku. Ikhlas dalam menerima kenyataan bahwa orang lain lebih baik, ikhlas untuk belajar lebih giat, ikhlas untuk melakukan hal-hal yang mungkin kita benci demi kebaikan orang-orang yang kita sayangi, dsb. 

      Baru inget belom ngasih komentar tentang covernya. *plak. Cover Best Rival berwarna dasar putih dengan huruf R berornamen warna emas. Sederhana tapi keren, menurutku. Emang itu salah satu keunggulan penerbit Gagas Media sih. Dia ga pernah main-main sama cover, semuanya dibikin semenarik mungkin. Tjakep lah.

Beberapa kalimat yang aku suka dari novel ini :
  • “Apalah itu, aku tidak ingin mengetahuinya lagi. Aku merelakan kalian bahagia dengan hidup kalian masing-masing.” (hlm 224)
  • Hidup apa adanya, bersama orang yang kita cintai itu lebih dari cukup. Biarkan orang lain dengan kebahagiaannya sendiri. (hlm 219)
  • Lagi-lagi Kuncoro bersyukur berada di tempat ini karena tidak melihat lagi orang-orang yang dibencinya, atau orang yang disayanginya bersedih (hlm 208)
  • Narimo ing pandum (menerima hidup yang telah diberikan oleh Tuhan). (hlm 190)
  • Cokro manggilingan (hidup itu seperti roda, terus berputar). (hlm 191)

Komentar